SATU DARI YANG BANYAK
Kau takkan pernah tahu. Kau takkan pernah sadar
Aku selalu ada diantara mereka
Memperhatikanmu. Menjagamu
Dengan perasaan
Karena setelah sekian lama aku kosong
Kau tiba-tiba ada dan membuatku merasa takut akan ‘kehilangan’
*
Suasana ramai yang tidak wajar terjadi di Museum Mahardika sejak jam sebelas lalu, diawali saat pembukaan khusus dari panitia pameran yang akan mempertunjukkan Juliet Diamond yang termasyur di hadapan khalayak ramai. Sebuah suara mengancam terdengar dari sudut kanan ruangan luas itu, tak lama seorang pria jangkung muncul dengan pistol ditodongkan pada seorang perempuan tua yang memakai cincin zamrud di jari manisnya, kalung mutiara di lehernya, gelang emas yang cukup besar di kedua tangannya, dan terakhir anting berlian di telinganya. Penampilannya seperti itu sungguh bodoh, bahkan sejak awal pria itu mengamati calon sanderanya, penampilannya seakan-akan bicara ‘hey sandera aku yang kaya ini’ dan ternyata benar perempuan tua itu menjadi sandera. Sendainya pria itu tak tahu berapa nilai Juliet Diamond dia akan memilih merampok kotak perhiasan berjalan yang tua dan gendut tanpa pengawal itu daripada mengancam hidupnya sendiri dengan-terang terangan berdiri di depan layar untuk merampok.
“Diam di tempat, kalau tidak kepala nyonya ini kuledakkan” teriaknya pada semua orang “Sekarang semuanya jongkok, jangan ada yang berbuat apapun atau kalian kutembak!” lanjutnya, pria itu perlahan mendekati keberadaan Juliet Diamond, dia tahu apa yang dia lakukan dan diapun sadar bahwa museum itu sudah dikepung oleh polisi, tapi apa yang bisa mereka lakukan sekarang.
Tak disangka sangka seorang pria setengah baya berdiri, “Apa yang bisa dia lakukan, kita banyak dan dia sendirian!” teriaknya, perampok itu tak menoleh namun dari sudut berbeda terdengar sebuah suara ledakan lagi, peluru itu menembus kaki pria setengah baya yang necis tadi, seketika itu pula semua orang menoleh ke sumber ledakan, seorang pria lagi, kali ini lebih muda dari yang satunya, lebih tinggi dan kurus, wajahnya bahkan lebih seperti orang baik daripada perampok, dia tersenyum licik namun tetap terlihat jelas seperti senyuman seorang ningrat, dengan gayanya itu orangpun akan percaya jika dia mengaku salah satu dari lima orang terkaya di Indonesia. Pria itu mengecam dengan ‘lembut’ “Bukannya tadi sudah dia katakan jangan lakukan apapun, kami yang berkuasa di sini, kalian semua hanya sandera, kami ada dimana-mana, dan kalian tak tahu berapa banyak jumlah kami, jadi kuulangi, jangan lakukan hal yang dapat membuat kami marah!“.
“Dasar para lelaki, mereka selalu sok tahu dan sok hebat” keluh Diana dalam hati, saat itu dia sedang berada di bawah meja, bersembunyi menuruti yang diatakan perampok itu sambil melaporkan semua yang dilihatnya melalui earphone kecil yang disisipkan di telinganya.
“Korban pertama pria berjas hitam kemeja putih, cukup necis, pasti orang kaya, tapi agak sok tahu, ah tidak penting. Umurnya kira-kira 35 tahun, posisi sudut kanan koordinat D14 dari posisiku, cepat sebelum korbannya bertambah” Diana agak bebisik melaporkan hal tersebut.
“Oke” sahut seorang pria diluar gedung, lalu dia berbalik dan mengulangi laporan Diana di bagian yang pentingnya saja, disaat yang sama telinga yang tidak berkepentingan ikut mendengarkan.
Seperti biasanya, mata Diana tak pernah diam. Ia terus memburu ke segala arah, memandang semua pengunjung yang ketakutan dan berlagak ketakutan, sambil menghitung. Sepintas dia melihat seorang pria pendek masuk dari pintu utama dengan wajah datar dan mendekati si wajah ningrat, si wajah ningrat mengangguk-angguk sambil mengerlingkan mata mengamati seisi ruangan, “Yah, pasti ketahuan” ucap Diana dalam hati.
Si wajah ningrat maju selangkah dan berteriak “Siapa diantara kalian yang merasa sebagai mata mata?”.
Suasana hening, tak ada yang menjawab, si wajah ningrat menarik seorang perempuan muda di dekatnya lalu mengarahkan pistol ke kepala perempuan itu, “Siapa namamu nona?” tanyanya.
“Mel…Melisa” jawabnya gagap.
“Dengarkan!” teriaknya “Jika orang yang kucari tidak muncul, Nona Melisa yang manis ini akan mati”.
Diana berdiri dengan sigap, “Aku, aku yang kau cari”. Ketiga perampok berpistol itu agak tercengang, mereka terlihat tidak percaya, tapi si wajah ningrat dengan cepat mengembalikan raut muka berwibawanya. Sepanjang yang disadari Diana, baru si wajah ningratlah yang paling pandai diantara mereka, dia pandai mengendalikan wibawa wajahnya sedangkan yang lain, tampak bodoh. Si wajah ningrat tersenyum dan mendorong Melisa ke lantai, “Heh anak ingusan, jangan bercanda kau ya!”.
Diana hanya mengangkat bahu.
“Kau pikir akan seperti apa mata-mata itu? Kau pikir polisi-polisi itu bodoh mengirim mata-mata yang tampak seperti mata-mata?” Diana agak menyeringai sedikit untuk menunjukan ia tak takut sedikitpun. Si wajah ningrat masih tersenyum meremehkan.
“Oh Please” sambung Diana “Kau pikir mata mata itu akan terlihat kekar seperti Arnold atau bergaya seperti James Bond? Dan aku ingatkan, jangan berpikir ada dua orang perempuan lagi yang sedang bersembunyi di ruangan ini, aku bukan Charlie’s Angels”.
“Kau pandai bicara nona, tunjukan tanda pengenalmu!”
Diana menunjukan sebuah kartu tanda pengenal pada si wajah ningrat, “yang ini pasti susah diajak nego” keluhnya. Si wajah ningrat sekarang sudah menunjukkan raut muka percaya pada Diana walaupun senyum meremehkannya masih betah menggantung di bibirnya.
Kini pria yang menodongkan pistol pada nyonya kotak perhiasan berjalan memilih menyerahkan sanderanya itu pada si pendek yang baru masuk lalu perlahan-lahan dia kembali mendekati kubah kaca penyimpanan Juliet Diamond, setelah mereka terbebebas dari masalah mata-mata yang mereka pikir tak bisa apa-apa.
Si pria jangkung memukulkan pistolnya ke kubah kaca untuk memecahkan kubah itu, tapi hasilnya nihil. Niat awalnya untuk menghemat peluru kini tidak diacuhkannya lagi setelah dia mencoba memecahkan kubah berkali-kali, dia mundur beberapa langkah lalu menembak tapi hasilnya tetap nihil.
Diana tertawa sinis “Apa tidak ada niat untuk memanfaatkan aku?” ledek Diana.
“Apa maksudmu?” Si jangkung bertanya tanpa bisa mengendalikan kemarahannya yang tampak jelas dari suara seraknya, sangat berbeda dengan si wajah ningrat yang selalu berwajah tenang dan berwibawa.
“Kubah itu memang sepertinya kaca, tapi bukan kaca biasa, kubah itu seperti karet tak akan pecah biar dipukul atau ditembak sekalipun, perlu teknologi untuk membukanya. Kau tidak melihat serangkaian tombol dibawah kubah itu?” Diana menjelaskan dengan nada merendahkan.
“Jadi, apa fungsimu? Aku ingin melihatnya sekarang. Aku tidak senang jika ada orang tidak berguna yang suka menyeringai disini” tiba-tiba saja si wajah ningrat mengarahkan pistolnya pada Diana.
“Aku bisa membantumu membukanya, itu jika kau mau!” jawab Diana.
“Benakah, kalau begitu lakukanlah, aku tidak suka ditipu” suara si wajah ningrat semakin tajam.
“Oh itu tidak gampang, aku mau bernegosiasi dulu. Bagaimana?”
“Disini kami ketuanya, kau tidak punya hak meminta apapun” teriak si pria jangkung.
“Terserah, toh jika aku mati disini, kalian akan pulang dengan tangan hampa. Aku terlalu berharga untuk mati sekarang kan?”
“Kau sangat percaya diri nona” sambar si wajah ningrat “Aku memang sudah memikirkan bahwa orang sepertimu tak takut mati, tapi apa kau tak takut jika ada orang yang mati didepanmu. Polisi di luar sana pasti akan menyalahkanmu” sambungnya.
“Oh, aku lupa bilang kalau aku tak suka diancam” Diana menarik seorang pria tua yang sedari tadi ikut jongkok ketakutan di dekatnya lalu tertawa tidak sopan padanya. “Tom” panggil Diana pada sersan Tommy yang ternyata sejak awal berbaur di sana mengikuti instruksi. Dia langsung berdiri dengan sigap. “Ya” sahutnya.
“Tarik pelayan itu” perintah Diana.
Tommy langsung menarik seorang cleaning service berseragam biru tua yang memegang sapu di pojok ruangan dan menodongkan pistolnya.
“Kau mau kita saling membunuh orang yang seharusnya dilindungi, kau bisa mengancamku, tapi aku juga bisa mengancammu, aku bisa membunuh orang-orangmu tanpa kau sadari”
“Oh, oke” sahut si wajah ningrat “Memangnya apa yang kau inginkan?” sambungnya.
“Aku mau semua teman-teman kalian di sini berdiri, jangan ada satupun yang bersembunyi!” Diana menegaskan, sekarang dengan nada memerintah. Si Pendek dan si jangkung tak bisa menahan amarah dan hampir melontarkan jawaban, tapi si wajah ningrat memberi isyarat untuk tidak mengatakan apa-apa. Diana cukup heran dengan situasi itu, si wajah ningrat memang paling muda tapi terlihat sangat dominan dan menjadi bos diantara mereka.
“Baik, aku akan memintanya berdiri”
“Dan melucuti senjata mereka” sambar Diana cepat.
“Boni“ teriak si wajah ningrat. Lalu seorang pria bermata coklat dan terlihat frustasi berdiri. Tubuhnya agak kurus, wajahnya pucat dan ada bekas jahitan di sepanjang lengannya.
“Sudah kukira” bisik Diana pada dirinya sendiri.
“Kami semua sudah berdiri, puas kau sekarang?” sambung si wajah ningrat “Sekarang kau harus membuka kubah itu dan melepaskan teman-temanku”.
“Kau bilang semua, kaupikir aku bodoh, atau kau yang bodoh?”
Si wajah ningrat mengernyitkan dahi mendengar kata kata Diana.
“Kalian bersepuluh, bukan? Hebat, lebih banyak dari yang kusangka”
“Bersepuluh?” sahut si wajah ningrat berlagak bingung.
“Kau, yang di sana” teriak Diana sambil menunjuk ke pojok kanan, “Satunya, di arah jam enam, cepat berdiri! Kau yang deket vas bunga, Nona Melisa yang manis akting takut anda hebat sekali tadi” Diana kembali berdiri, dan melanjutkan ocehannya sebelum dipotong oleh semua dari mereka yang sudah berdiri tegang dipermalukan gadis tujuh belas tahun. “Kalian seharusnya sadar, aku ada disini karena aku adalah ahlinya, kalian jangan membodohi aku, seperti yang kau bilang tuan ningrat, akupun tak suka di bodohi” serunya.
“Sekarang kau terlalu membuat ku marah, lagakmu yang berlebihan itu membuatku muak”.
“Terserah, lagipula aku suka dengan lagak seperti ini” Diana menantang mereka sehingga membangkitkan amarah semua perampok itu habis habisan.
“Kalian memang banyak, sepuluh orang. Tapi kalian tidak pernah tahu sedang berhadapan dengan berapa orang “.
“Tapi kami punya sandera, seluruh pengunjung di sini adalah sandera kami”
“Ya dan akupun punya sandera”
“Jika mereka memang terlalu berharga untuk menjadi sandera. Juliet lebih berharga” sambut si wajah ningrat dengan sombong. Dia lalu mengarahkan pistolnya sembarangan dan menembakkan pelatuknya, ledakkan itu mengenai pundak seorang perempuan, dia Nyonya Inka istri Tuan Helmi salah satu pengusaha tekstil terbesar di Indonesia.
“Hey“ teriaknya dengan refleks, “Kalian semua tak peduli pada nyawa kami?” nada bicaranya jelas menuding kepada polisi-polisi yang tak memberikan perkembangan dari tadi.
“Oh aku terlalu baik ternyata” Si wajah ningrat mengolok “Aku hanya mengenai pundak nyonya itu” lanjutnya.
“Kau sedang melawak ya?” Diana balas mengolok “Paman, sudah ada korban lagi cepat lakukan sebelum ada yang mati, aku sudah tidak kuat mengulur waktu pada mereka. Sekarang mereka sudah terlalu marah untuk berwaspada” Diana berbisik kedekat antingnya yang melambai panjang itu.
“Sekarang apa yang bisa kaulakukan selain menyerah, aku terlalu licik untukmu” si wajah ningrat semakin sesumbar.
Diana mundur selangkah, menurunkan tangannya dan melepaskan pria tua yang wajahnya memancarkan rasa penuh kebencian itu. Tommy juga melepaskan cleaning service. Semua terlihat tenang sekarang, Diana hanya menggeleng sambil menuju ke kubah kaca, wajahnya terlihat pasrah. Dia membuat si wajah ningrat merasa kekuasaan kembali ke tangannya.
“Oke Diana, tugasmu selesai. Sekarang kami yang memegang kendali” sebuah suara dari antingnya yang panjang itu berseru.
“Kau yakin sudah menemukan mereka semua yang berjaga di luar? Jangan sampai ada yang lolos. Itu akan membuatku kecewa” sahut Diana
“Tenang saja”
Diana mulai meraih tombol di dekat kubah, dan mulai saat itu si jangkung dengan pistolnya terus mengamati pergerakan Diana dari belakang. Diana lalu mencocokan sidik jarinya pada sensor sentuh, lalu menekan beberapa kode. Kubah terbuka dengan mudah, dia mengambil berlian yang bersinar itu dan langsung melemparkannya kepada si wajah ningrat.
“Tak kusangka akan menjadi semudah ini” si wajah ningrat terlihat senang tetapi tidak untuk waktu lama. Sesaat setelah dia meraih berlian itu dan menatapnya, raut wajahnya menjadi agak bingung, khawatir, dan waspada. “Apa yang kalian rencanakan?” tanyanya pada Diana.
“Rencana? Tak ada” sahut Diana, “Sekarang pergilah kalian semua, itupun jika kalian bisa keluar dari sini”
“Keluar, tentu kami bisa keluar. Kami sudah memegang berliannya dan kami juga punya sandera, tak ada yang berani menghalangi kami” Si pendek menjawab sesumbar.
“Dasar amatir” sela Diana “Bawa saja berliannya, bawa saja sanderanya jika kalian bisa. Lagipula semua itu PALSU”
*
Siang itu Diana pergi ke sebuah hotel menemui Tuan Alfred, salah satu pengacara keluarga Paterrson, pemilik asli Juliet yang belum lama ini di curi.
Diana menuju kamar 125 di lantai tiga hotel itu, dia terlihat terburu-buru menuju sebuah lift di ujung lorong dekat ruang tunggu.
“Brakkk……” tak sengaja Diana menabrak seorang pria, entah berapa umurnya, tak bisa diperkirakan yang pasti kurang dari 25 tahun, wajahnya pucat, kantung matanya agak hitam, dia memakai topi dan selalu menunduk.
“Akhir-akhir ini aku sering sekali bertemu dengan orang yang terlihat frustasi, pasti dunia amat kejam pada mereka” keluh Diana dalam hati. Saat itu Diana ingin mengucapkan maaf pada pemuda itu, tapi keduluan olehnya.
“Maaf, saya tidak sengaja” sahut pria itu agak formal.
“Oh tak apa, saya juga minta maaf” jawab Diana berusaha mengimbangi keformalan cara bicara pria yang sepertinya sakit parah itu, seandainya Diana kenal betul dengan pria itu pasti dia akan bertanya ‘kau terlihat pucat, sepertinya umurmu tidak lama lagi ya’, tapi dia tidak mungkin menanyakan pria linglung itu tentang hal umur, memangnya dia gila pikirnya, dan pasti si pria akan tersinggung karena memang benar wajah pucatnya menunjukkan sepertinya dia tak akan hidup lama, mengerikan.
“Apa ada yang sakit atau terluka?” sambungnya lagi.
“Gak, gak ada. Lagipula tadi salah saya juga, gak liat-liat kalo jalan, habisnya lagi buru-buru!” jawab Diana sambil tersenyum ramah, dia tidak akan mungkin menampakkan pandangan prihatin pada pria itu.
“Buru-buru? Ya sudah kalo gak apa-apa” perlahan dia meninggalkan Diana dengan perasaan segan, sesekali dia berbalik memandang Diana yang masuk ke lift dan menghilang dari pandangan.
Diana mengetuk pintu kamar nomor 125, Tuan Alfred yang berkebangsaan Belanda itu membuka pintu dan tersenyum ramah, dia mempersilakan Diana masuk walaupun awalnya dia agak kaget melihat gadis berumur tujuh belas tahun yang memakai kaos oblong, celana jeans, dan tas selempang kecil itu adalah utusan kepolisian yang akan mewawancarainya tentang Juliet, tetapi setelah beberapa lama mengobrol dia yakin bahwa Diana memang utusan kepolisian. Tuan Alfred menceritakan semua sejarah Juliet Diamond.
“Juliet Diamond adalah milik sebuah keluarga ningrat dari Inggris yaitu keluarga Patterson, mereka ‘menjaga’ berlian itu secara turun temurun tetapi tidak ‘memiliki’ berlian itu. Aturannya adalah bahwa harus ada satu dari keturunan itu yang memiliki kriteria khusus dan akan memiliki berlian itu secara sah dan hal itu ditentukan dari nama mereka. Satu minggu yang lalu terjadi kebakaran di rumah keluarga besar Patterson, padahal waktu itu mereka mengadakan pertemuan keluarga besar yang selalu diadakan setiap tahun. Semua yang berada di rumah itu meninggal, hanya tersisa satu keturunan Patterson lagi saat itu, dia Anna patterson. Dia selamat karena saat itu dia dirawat di rumah sakit untuk operasi jantung, penyakit kelainan jantungnya amat parah. Nona Anna bilang sebaiknya berlian itu di simpan di museum keluarga Patterson tapi keamanan sudah tidak bagus lagi maka kami meminta agar berlian itu di simpan di Museum Mahardika”
“Kenapa bukan Nona Anna saja yang menyimpannya secara pribadi, bukannya seharusnya dia yang memilikkinya?” sela Diana ketika itu.
“Tidak, sudah saya bilang keluarga Patterson secara turun temurun hanya berhak ‘menjaga’ berlian itu bukan menjadi pemilik. Lagipula Nona Anna Patterson sudah meninggal kemarin, operasinya yang ketiga ini gagal. Sungguh sangat disayangkan” Tuan Alfred kelihatan sedih, pasti dia sudah sangat lama dekat dengan keluarga Patterson, pikir Diana, dia mampu menjaga berlian yang sangat mahal itu tanpa mengambil keuntungan sedikitpun. Sungguh pintar keluarga Patterson mencari pengacara.
“Jadi maksud Anda, keluarga Patterson sudah berakhir?” tanya Diana dengan nada prihatin.
“Tidak juga” sambung Tuan Alfred “Saya belum menceritakan tentang keluarganya, Anna bukan keturunan terakhir dari Patterson. Tuan dan nyonya Patterson memiliki tiga orang anak, anak pertama dan kedua seorang laki-laki, dan ketiga perempuan. Setahuku dulu yang berhak ‘memilikki’ Juliet adalah anak tertua Tuan Patterson, tapi dia melakukan sebuah kesalahan yang fatal sehingga diusir dari keluarga itu, secara hukum dia memang bukan lagi keturunan Patterson tetapi secara aturan garis keturunan, seberat apapun kesalahannya yang sayang sekali bukan hakku untuk mengatakan kesalahan itu, dia tetaplah seorang Patterson pewaris Juliet Diamond”
Diana mengernyitkan dahinya, menjadi keluarga ningrat itu ternyata memuakkan sahutnya dalam hati “Lalu dimana anak itu sekarang?” tanya Diana tanpa basa-basi.
“Awalnya kupikir dia berada di sebuah negara, entah dimana, atau bahkan sudah mati, karena sejak hari itu tak lagi terdengar kabarnya. Aku baru tahu keberadaannya lagi beberapa minggu lalu. Seorang pemuda yang mengaku kurir datang padaku dan menceritakan kabar Patterson muda yang lama tak ada kabarnya itu. Aku agak lega karena akhirnya Juliet tidak akan membuatku takut lagi. Lalu ada masalah lain” katanya dengan enggan.
“Apa itu?”
Tuan Alfred terlihat enggan menceritakannya, “Sepertinya aku tak perlu menceritakan proses dan alasan yang rumit padamu. Intinya aku tidak bisa memberikan berlian itu begitu saja pada Patterson muda yang sampai sekarang bahkan aku belum bertemu dengannya. Secara hukum dia bukan keluarga Patterson lagi, dan aku adalah orang yang bekerja di bidang hukum, aku tak mungkin tak mengacuhkan hal itu begitu saja, jadi berlian itu tetap kupertahankan di museum”
“Hingga akhirnya di curi?” sahut Diana “Dan sepertinya anda tak terlalu mengkhawatirkan hal itu” sambungnya “Apa karena itu terlalu membebani anda, karena bukan milik anda, atau anda tahu sebuah kepastian dari hal ini?” Diana bertanya dengan serius dan bernada mengecam.
“Alasan pertama dan kedua adalah salah besar, aku bukan orang tak bertanggung jawab seperti itu, tapi mungkin alasan terakhir cukup masuk akal” Tuan Alfred yang terlihat komersial sekali jika dilihat dari cara berjalannya itu mengambil secarik kertas dari sela-sela bukunya yang tebal lalu menyerahkannya pada Diana.
“Tuan Alfred, jika kau lebih yakin dengan aturan keluarga Patterson. Biarkanlah Juliet pergi karena itu bukan masalah. Tapi jika kau memang konsisten dengan hukum, lakukanlah tugasmu dengan baik untuk menemukan Juliet. Semoga berhasil”
Kurir………. Atas nama tuan Patterson muda
“Kau mengerti maksudnya nona? Jika kupikir sesuai nalarku berlian itu sekarang justru ada di tangan yang tepat. Keturunan patterson baru bisa lahir lagi kan?”
“Ini”
“Ya, kurir yang aku ceritakan tadi, dia barusan datang dan memberikan itu padaku, beberapa menit sebelum anda” sahut Tuan Alfred kemudian.
Spontan saja Diana bertanya, “Bagaiman ciri-ciri kurir itu?”
“Dia seorang pemuda yang entahlah, mungkin umurnya kurang dari 25 tahun. Wajahnya pucat, kantung matanya agak hitam seperti kurang tidur, atau seperti orang yang punya penyakit parah. Cara bicaranya juga agak formal, bahkan lebih formal dariku, pandangan matanya tajam, suka memakai topi, dan….” Bicara Tuan Alfred terhenti saat menatap Diana yang tanpa basa-basi meninggalkan tempat itu dan berlari kencang ke lantai bawah dengan lift yang dia gunakan saat naik. Setelah keluar dari lift dia memutar-mutar pandangan, lalu keluar hotel, memutar pandangan lagi, tapi hasilnya nihil. Dia kembali ke hotel dan bertanya pada resepsionis tentang seorang pemuda yang memakai topi merah, jaket biru tua, yang wajahnya pucat dan terlihat agak linglung. Resepsionis mengiyakan bahwa sesaat yang lalu dia melihat orang seperti itu, bahkan tanpa disangka oleh Diana, resepsionis menyerahkan sesuatu pada Diana.
“Dia tadi berpesan pada saya, jika ada seorang gadis yang mencarinya, saya harus memberikan ini, jadi ini saya berikan pada anda” kata resepsionis itu sambil menyerahkan, secarik kertas. Diana menyambutnya, dia menatap kertas itu dengan agak kesal, “pria itu, dia mengecohku kali ini” keluh Diana dalam hati. Dia memasukkan secarik kertas itu ke dalam saku jeansnya. Secarik kertas yang berisi sebuah pesan. Pesan perkenalan.
Salam Kenal……..
α
Pesan perkenalan yang pendek, tapi sangat membuat Diana penasaran.
“Dia tahu aku mencarinya, mengejarnya. Tapi aku bahkan tak tahu bagaimana wajahnya, atau warna matanya yang biasanya adalah sesuatu yang kuperhatikan pertama kali jika bertemu orang asing, aku tertinggal satu langkah darinya. Sungguh dia telah mengecohku”
Diana kembali ke kamar 125 menemui Tuan Alfred yang duduk bingung melihat reaksi Diana yang sangat spontan setelah mendengar tentang kurir aneh itu. Diana dengan to the point menghentikan wawancara yang dia pikir sudah cukup itu, tetapi sebelum itu dia meminta maaf tentang kejadian dramatis ketika dia meninggalkan seorang pengacara terhormat dari keluarga ningrat yang sedang berbincang dengannya, Diana sadar itu sungguh tak sopan.
Diana pergi dari kamar 125 dengan berjalan santai dan perlahan, di depan lift kakinya tertahan memikirkan sesuatu, “Oh ya” katanya setelah menemukan point dari sesuatu yang sedari dia pergi tadi sudah mengganjal di pikirannya, sebuah pertanyaan yang sejak awal ingin dia tanyakan namun sempat terlupakan karena kejadian kaburnya yang mengejutkan beberapa saat lalu.
Dia kembali ke kamar pengacara tadi, “Maaf tuan, ada satu hal yang ingin saya tahu dari Anda. Anda tentu tahu, siapa nama anak tertua Patterson, pewaris Juliet Diamond yang kata anda tak diakui lagi oleh hukum?”
Tuan Alfred tersenyum tipis, “Aku menunggu pertanyaan itu dari tadi” jawabnya. “Tentu aku tahu. Namanya…..
Romeo Patterson”
*
Kedua mata yang tajam memancarkan ketelitian dan profesionalisme tinggi menatap seksama ke arah layar komputer ketika beberapa data muncul dari layar.
Nama : Diana Kharisma Putri
Umur : 17 Tahun
Sekolah : International Brain School
Alamat : Rahasia
Bidang : Mata-mata dan tekhnis lapangan
Jabatan : Pimpinan penyelidikan langsung tingkat III
Level : B
Kasus Terakhir : Alpha
Latar Belakang : Rahasia
“Diana, kita pasti bertemu, tapi tidak sekarang. Aku ingin membuatmu sadar dulu tentang siapa aku sebenarnya” pemilik suara setenang desiran angin yang meluncur begitu mulus dan lembut itupun beranjak dari posisinya, dia meraih setelan jas coklat, kaos tangan hitam, dan sepasang lensa kontak warna coklat.
“Malam ini aku ingin bermain dengan mereka sebentar” gumamnya.
Lalu lampu ruangan itu mati seketika dan kegelapanpun menyelimuti.
Alpha berlalu dari tempatnya secepat kau mengedipkan mata.
No comments:
Post a Comment